Sabtu, 08 Januari 2011

Happy New Year!

Selamat Tahun Baru 2011. Semoga semua rencana yang sudah tersusun maupun yang masih dalam benak bisa berjalan dengan lancar.

Perubahan sangat diperlukan untuk menjadi insan yang lebih baik lagi :)

-Fachri Muhammad

Berangkat Kosong Pulang pun Tanpa Isi

Udah dari seminggu sebelum hari H gue di ajak, lebih tepatnya di undang sama Maya untuk liat perform Marching Band kampusnya dia. Acaranya tanggal 26 dan 27 Desember di Istora Senayan. Dan dari jauh-jauh hari juga gue mau ngosongin agenda untuk tanggal itu.

Malem minggunya gue smsin beberapa temen deket, niatnya mau minta temenin kesana. Dengan alibi jalan-jalan ke Senayan gue harap banyak yang bisa ikut nonton pertunjukannya Maya. Entah karna gue salah niat di awal atau mereka yang sedang males nemenin gue ataupun memang mereka lagi ga bisa, dari tujuh orang yang menerima pesan akhirnya cuma ada satu orang yang lulus seleksi dan berhak berangkat ke Senayan bersama gue.

Lagi siap-siap dirumah, tiba-tiba, jeger! Petir pun bergerumuh di atas rumah gue. Sampe gue selesai Sholat Zuhur pun gerimis terus membasahi area pemukiman. Gue hanya punya dua pilihan: tidur dirumah dan berangkat menembus rintik-rintik hujan. Keadaan mendung, gerimis, perut kenyang emang ngedukung banget untuk gue ngelanjutin tidur ronde kedua. Tapi gue inget satu kalimat dalam filem Hollywood, The Transporter, “Jika kau tidak bisa menepati janji, maka jangan pernah berjanji.” Widih kalimatnya top banget, membangkitkan semangat gue untuk terus membayar janji yang udah gue buat.

Eka, begitu panggilannya. Temen baik semasa TK dan SMP yang sama-sama berjuang untuk kemajuan basket di SMP gue. Sekarang lagi nerusin pendidikan di UNPAD. Sahabatnya Maya dari SMP sampe sekarang. Kebetulan emang dari malem dia ada di Bekasi,daerah tempat tinggalnya. Dengan sengaja gue ajak dia untuk ikut ke Senayan.

Hujan dan petir di siang hari ngga membuat kita gugur ditengah jalan. Misi kita sama: ketemu Maya. Entah apa yang mendasari Eka untuk bertemu Maya. Dalam pikiran gue mungkin karna dia kangen. Sebagai sahabat yang udah lama ga ketemu, dengan menggebu-gebu Eka membuat keputusan harus ketemu Maya. Dan gue, hmm, hanya sebatas bayar utang janji untuk nonton pertunjukannya dia.

Dalam perjalanan gue coba cari temen lagi, meluncurlah dua sms ke anak basket asuhan gue. Dan yess! Dua-duanya bisa ikut. Lumayan sekarang jadi ada empat orang yang berangkat. Walaupun si anak basket hanya tau Maya dari cerita yang keluar dari mulut gue, mereka juga punya misi yang sama: mau ketemu Maya juga. Alesannya? “Saya bosen bang cuma denger cerita tentang Maya doang tapi ga pernah ketemu orangnya.” Hahaha alesan yang cukup masuk akal buat gue. Berangkat lah kita menuju TKP dari haltewalk Pusat Grosir Cililitan.

Selama perjalanan gue bingung apa yang harus gue perbuat kalo udah ketemu. Hanya mau bertegur sapa, menanyakan kabar, atau bertanya-tanya seolah gue adalah orang yang harus tau tentang dia, semua berkecamuk dalam pikiran. Lamunan gue tersadar setelah bis Trans Jakarta berhenti di halte Senayan.

Kembali gue merasa bingung. Kali ini bukan untuk doing something bersama Maya, tapi gue bingung sekarang posisi Maya ada dimana. Sms udah terkirim daritadi tapi balesan belum juga dateng. Dan untuk ketiga kalinya gue dibuat bingung.

Rencana awal adalah ngeliat penampilannya Maya, otomatis gue harus berada didalam ruangan tempat dimana acara diselenggarakan. Agak tertegun melihat beberapa pilihan harga tiket masuk yang tersedia. Secara pribadi gue ga masalah untuk beli sebuah tiket, Eka pun setuju buat beli tiket yang terhitung paling murah. Yang jadi pertanyaan adalah bagaimana dengan dua orang anak yang gue bawa? Ga mungkin juga gue masuk kedalam sedangkan mereka hanya nunggu diluar. Nurani gue coba mencari alternatif lain. Pikiran positif dan negatif berkecamuk mencari solusi yang baik. Awalnya gue mau bayarin mereka berdua untuk masuk dengan beli tiket yang duduk membelakangi penampil. Lah tapi kalo aja gue beliin mereka bagaimana dengan ongkos untuk pulang? Keadaan sangat tidak memungkinkan untuk gue berjalan kaki sampe kerumah. Akhirnya kita pun sepakat nunggu Maya sampe dia selesai tampil.

Hanya bisa duduk-duduk di tangga sambil melihat keadaan sekitar, berharap seonggok daging berjilbab datang menghampiri sambil melemparkan senyum kemenangan. Ada beberapa lagu di iPod gue yang udah dua kali diputerin. Itu tandanya uda cukup lama gue menempelkan pantat di anak tangga paling atas. Gue liat Eka daritadi megang handphonenya. Nelfonin Maya dengan tujuan supaya dia sadar kalo ada banyak missed calls dilayar hape. Lagi-lagi usaha ketemu dengan bantuan ponsel harus tutup buku.

Eka punya inisiatif untuk ngelilingin Istora. Semoga aja ide brilliant kali ini berhasil. Terlihat muka dua orang yang jadi ekor mulai harap-harap cemas. Lap pertama kita berdoa supaya ketemu Maya diluar panggung, harapan itu sirna. Beberapa kali kita coba puterin lagi tapi belom ada tanda-tanda. Petang pun datang disambut kaki yang lelah yang daritadi berjalan tanpa menemui tujuan. Kita mengakhiri pencarian pada pukul setengah tujuh malam tanpa apa-apa. Eka langsung pulang naik bis ke arah Bekasi, gue bersama dua orang yang dari siang setia menemani usaha gue pulang dengan bis Trans Jakarta.

Hanya Tuhan dan gue yang tau, betapa besar niat gue untuk menepati janji di hari Minggu itu. Di hari Seninnya ternyata ada sebuah agenda penting yang ngga bisa gue tinggalin.

Pada Selasa paginya gue menerima sebuah pesan singkat, udah lupa isinya apa yang jelas sms itu dari Maya. Inti isinya adalah Maya mau berterima kasih sama semua kerabat, sahabat, keluarga, yang udah ngedukung dia di acara ini. Sampe pada akhirnya tim Marching Band Maya bisa keluar sebagai juara. Pesan itu membuat gue tersenyum di pagi hari, ngebuat gue seneng dia udah ada ditahapan tertinggi. Dalam senyum itu juga terbesit perasaan bersalah karna ga bisa ngeliat aksi dia secara langsung.

“Jangan pernah berjanji kalau tidak bisa menepati.”


MAXIMUM RESPECT

Rabu, 05 Januari 2011

Apa Ada Yang Salah?

Belakangan ini gue lagi mengalami kejenuhan tingkat dewa pada aktifitas sehari-hari. Sedang merefleksikan diri, tiba-tiba gue teringat akan satu hal. Blog! Yes, gue punya blog! Kenapa ga gue tulis-tulis aja disitu. Nulis apa kek yang penting nulis lah. Karna menurut buku yang gue baca, menulis itu banyak manfaatnya.

Benjamin Franklin, seorang mantan Presiden Amerika pernah mengatakan, “Jika Anda tidak ingin dilupakan orang setelah meninggal, maka tulislah sesuatu yang patut dibaca, atau berbuatlah sesuatu yang patut diabadikan dalam tulisan.” Lain lagi halnya dengan Dale Carnegie, seorang penulis berkebangsaan Amerika pernah berucap, “Saya ingin hidup untuk menulis, dan menulis untuk hidup.”

Dikatakan oleh James W. Penebeker, seorang ahli psikologi bahwa menulis merupakan metode yang tepat untuk memahami dan memecahkan gejolak pribadi. Disamping itu, menulis juga dapat membuat pikiran kita menjadi hidup, otak pun terasah sehingga tidak akan tumpul.

Nah karna hal itu pula gue terdorong untuk menulis.

Lalu kaitannya dengan judul “Apa Ada Yang Salah?” diatas apa?

Oke, jadi ceritanya begini loh…

Rasa suka itu adalah fitrah manusia. Siapapun berhak mendapatkannya, entah itu anak kecil, remaja, maupun orang dewasa, pasti pernah timbul rasa suka. Nah trus kalo gitu siapa yang salah? Bukan gue! Tapi mereka!

Jadi gue pernah menyatakan ketertarikan pada lawan jenis waktu rehat latihan. Gue emang biasa berbagi cerita dengan beberapa anak basket asuhan gue. Mereka kompak menyerukan satu suara negatif untuk pilihan wanita yang lagi gue deketin. Alesannya karna wanita cantik yang gue maksud ke anak-anak itu jutek banget. Lah gue heran jutek darimananya? Kalo keliatan jutek juga gue pasti ogah ngedeketin, wong ini jelas-jelas cantik.

Namanya Tisyana Liotta Rizlich, anak SMP sekaligus ketua OSIS disekolahnya. Menurut gue dia anak yang baik, pinter, cantik pula. Lalu kenapa ada yang ga setuju? Dan gue menemukan sebuah jawaban baru.

“Dia kan masi SMP, bang!”
Ada seorang anak bicara kaya gitu ke gue.

“Lalu kenapa kalo masi SMP? Apa ada yang salah?” Gue pun menimpali ucapan iseng itu.

Beberapa alesan dimunculkan. Dan salah satunya adalah karna perbedaan umur. Gue rasa perbedaan umur bukan kendala utama. Toh bisa banyak diliat diluaran sana ada yang berhubungan dengan selisih umur diatas tujuh tahun tapi mereka masi bisa menjalankan hubungan dengan sangat nyaman. Gue Sembilan belas, si Tisya empat belas, bedanya cuma lima taun. Lagian (ini beneran, suer deh!) juga kata Tisya gue ga keliatan kaya umur segitu, awalnya dia ngira gue masi enam belas.

“Tuhkan selisih umur gue sama dia malah keliatan lebih deket!” Teriakan gue dalam hati untuk menyanggah perbedaan umur.

Sekali lagi, rasa suka adalah fitrah manusia yang diberikan oleh Allah. Dan gue pun berhak suka sama anak SMP itu, tak terkecuali! *hahaha ngebela diri

Sampe bertemu dipostingan selanjutnya :)