Seorang bayi
yang baru lahir, dirawat, dijaga, hingga bertumbuh semakin besar.
Pada saatnya
memang harus berjalan; belajar berjalan yang pasti mengalami jatuh di awal,
sakit rasanya.
Namun dengan
keinginan yang besar, dengan kesabaran, proses berjalan menjadi kebiasaan.
Perlahan
sakit itu hilang.
Keraguan
untuk kembali berjalan mulai sirna.
Kembali
bangkit lagi untuk berjalan.
Langkah yang
dulu gontai kini menjadi stabil.
Seimbang.
Setelah bisa
berjalan baru lah mulai berlari.
Berlari pun
tidak serta merta langsung cepat.
Ada proses
di dalamnya; dimana kecepatan dimulai dari yang paling lambat, lalu berakhir di
kecepatan maksimal.
Perasaan pun
datangnya tidak cepat. Dia ber proses; baru lahir, dirawat, dijaga, hingga
bertumbuh semakin besar.
Baru banget
seneng bisa deket lagi sama Widya. Bisa kenal dia lebih jauh, beberapa kali
pertemuan yang berkesan, komunikasi intensif yang memupuk perasaan, layaknya
seorang remaja yang merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya.
Iya, mungkin
Widya adalah wanita pertama yang gue suka. Udah suka lama banget semenjak SD,
bahkan perasaan itu masih ada sampe sekarang. Mau gimana pun cara ngelupainnya
pasti ga akan bisa. Ga tau kenapa, gue pesimis bisa ngelupain semuanya.
Udah deket
lagi sama Widya. Komunikasi mulai membaik. Semuanya berjalan apa adanya. Apa
yang Widya ucapkan selalu masuk dari telinga kanan, mengendap di otak, dan ngga
pernah keluar dari telinga kiri.
Sekiranya
ada kode dari Widya dengan sigap pasti gue tangkap. Ada omongan dia yang
penting untuk gue catet dengan serta merta otak tidak memerlukan pulpen untuk
menuliskan semuanya. Iya, semua berjalan dengan cepat, bahkan prosesnya terlalu
cepat ketika gue harus menelan pil pahit untuk yang kedua kalinya.
Dulu gue
pernah kehilangan dia. Gue masih inget banget masa-masa itu. Bahkan
penghapusan, sekalipun tipe-x ngga akan bisa menghapus kenangan ini semua.
Selama nafas masih berhembus, selama itu pula gue selalu ingat. Sekarang
kesempatan itu dateng lagi, gue berusaha untuk menelan pil pahit, membuangnya
dengan komplotan feses, lalu ngemut permen yang manis sebagai simbol
kesenangan.
Kesempatan
itu ngga gue sia-siain. Gue berusaha mencurahkan perhatian sepenuhnya ke Widya.
Gue yang pendiem berubah jadi bawel untuk selalu ngingetin sesuatu yang baik ke
dia, gue peduli dengan dia dari A sampai Z. Berusaha ngeluangin semua waktu
yang gue punya untuk dia, kapanpun.
Ternyata
permen yang manis itu terlalu cepat habis. Kini membuat mulut gue hambar
terasa.
Kedekatan
kita kini berakhir. Mengakhiri hubungan yang dekat ini dengan komunikasi yang
seadanya, dan dengan alasan yang dia lontarkan. Kayak ada palu godam yang
menghantam tubuh. Mungkin orang yang tidak memupuk iman-nya dengan baik akan memilih untuk mengakhiri hidup daripada
harus kembali menelan pil yang rasanya sangat amat pahit. Ironis.
Membaca
tulisan di awal kembali mengingatkan gue pada kejadian ini. Kejadian dimana
untuk beberapa hari gue merasa terpuruk dalam kehidupan. Setiap bangun pagi,
buka jendela, hanya ada awan kelabu tanpa pancaran sinar yang tugasnya
mencerahkan. Gue pun lebih memilih untuk menyemplung di dasar keterpurukan,
belum ada niatan untuk kembali ke permukaan. Namun, tulisan di atas juga yang
menyadarkan gue untuk menghilangkan keraguan, untuk kembali bangkit, mengganti
yang gontai dengan yang lebih stabil, lalu pergi melesat meninggalkan ini
semua.
Ya, gue ga
mau kalah sama anak kecil yang sedang belajar berjalan. Tanpa sadar anak kecil
itu mulai berjalan lagi, tidak memikirkan bahwa jatuh itu sakit. Yang dia punya
hanya lah impian untuk terus berjalan, agar setelah bisa berjalan dia bisa
berlari dengan cepat untuk menjemput setiap detail kebahagiaannya.