Rabu, 28 April 2010

Lelaki Sejati

Kisah ini terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra. Ada seorang pemuda kaya hendak pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah umrah. Dia mempersiapkan segala perbekalannya, termasuk unta yang akan digunakan sebagai kendaraannya. Setelah semua dirasanya siap, dia pun memulai perjalanannya.

Di tengah perjalanan dia menemukan sebuah tempat yang ditumbuhi rumput hijau nan segar. Dia berhenti di tempat itu untuk beristirahat sejenak. Pemuda itu duduk di bawah pohon. Akhirnya, pemuda itu terlelap dalam tidurnya yang nyenyak.

Saat dia tidur, tali untanya lepas sehingga unta itu pergi ke sana ke mari. Alhasil unta itu masuk ke kebun yang ada di dekat situ. Unta itu memakan tanaman-tanaman dan buah-buahan di dalam kebun. Dia juga merusak segala yan dilewatinya.

Penjaga kebun itu adalah seorang kakek yang sudah tua. Sang kakek berusaha mengusir unta itu. Namun dia tidak bisa. Karena khawatir unta itu akan merusak seluruh kebunnya, sang kakek pun membunuh unta itu.

Ketika bangun, pemuda itu mencari untanya. Ternyata dia menemukan unta itu telah tergeletak mati dengan leher menganga di dalam kebun. Pada saat itu seorang kakek datang.

Pemuda itu bertanya, “Siapa yang membunuh unta ini?”

Kekek itu menceritakan apa yang telah dilakukan oleh unta itu. Karena kuatir akan merusak seluruh isi kebun, terpaksa dia membunuhnya.

Mendengar hal itu sang pemuda sangat marah hinga emosinya tak terkendalikan. Serta-merta dia memukul kakek penjaga kebun itu. Naasnya, kakek itu meninggal seketika. Pemuda itu menyesal atas apa yang diperbuatnya. Dia berniat kabur.

Saat itu datanglah dua orang anak sang kakek tadi. Mengetahui ayahnya telah tergeletak tidak bernyawa dan disebelahnya berdiri pemuda itu, lalu mereka menangkapnya.

Keduanya membawa pemuda itu untuk menghadap Amirul Mukminin; Khalifah Umar bin Khattab ra. Mereka berdua menuntut dilaksanakan qishash (hukuman bagi orang yang membunuh) kepada pemuda yang telah membunuh ayah mereka.

Lalu Umar bertanya kepada pemuda itu. Pemuda itu mengakui perbuatannya. Dia benar-benar menyesal atas apa yang telah dilakukannya.

Umar berkata, “Aku tidak punya pilihan lain kecuali melaksanakan hukum Allah.”

Seketika itu sang pemuda meminta kepada Umar agar dia diberi waktu dua hari untuk pergi ke kampungnya, sehingga dia bisa membayar hutang-hutangnya.

Umar bin Khattab berkata, “Hadirkan padaku orang yang menjamin, bahwa kau akan kembali lagi ke sini. Jika kau tidak kembali, orang itu yang akan diqishash sebagai ganti dirimu.”

Pemuda itu menjawab, “Aku orang asing di negeri ini, Amirul Mukminin. Aku tidak bisa mendatangkan seorang penjamin.”

Sahabat Abu Dzar ra yang saat itu hadir di situ berkata, “Hai Amirul Muikminin, ini kepalaku. Aku berikan kepadamu jika pemuda ini tidak datang lagi setelah dua hari.”

Dengan terkejut, Umar bin Khatab berkata, “Apakah kau yang akan menjadi penjaminnya, wahai Abu Dzar… wahai Sahabat Rasulullah?”

“Benar, Amirul Mukminin.” Jawab Abu Dzar lantang.
Pada hari yang telah ditetapkan untuk pelaksanaan hukuman qishash, orang-orang menantikan datangnya pemuda itu. Sangat mengejutkan! Dari jauh mereka melihat pemuda itu datang dengan memacu kudanya. Sampai akhirnya, dia sampai di tempat pelaksanaan hukuman. Orang-orang memandangnya dengan rasa takjub.

Umar bertanya kepada pemuda itu, “Mengapa kau kembali lagi ke sini anak muda? Padahal kau bisa menyelamatkan dirimu dari maut.”

Pemuda itu menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, aku datang ke sini agar jangan sampai orang-orang berkata, ‘tidak ada lagi orang yang menepati janji di kalangan umat Islam’, dan agar orang-orang tidak mengatakan ‘tidak ada lagi lelaki sejati, kesatria yang berani mempertanggungjawabkan perbuatannya di kalangan umat Muhammad SAW.”

Lalu Umar melangkah ke arah Abu Dzar Al-Ghiffari dan berkata, “Dan kau wahai Abu Dzar. Bagaimana kau bisa mantap menjamin pemuda ini, padahal kau tidak kenal dengan pemuda ini?”

Abu Dzar menjawab, “Aku lakukan itu agar orang-orang tidak mengatakan bahwa ‘tidak ada lagi lelaki jantan yang bersedia berkorban untuk saudaranya seiman dalam umat Muhammad SAW.”

Mendengar hal itu semua, dua orang lelaki anak kakek yang terbunuh itu berkata, “Sekarang tiba giliran kami, wahai Amirul Mukminin. Kami bersaksi di hadapanmu bahwa pemuda ini telah kami maafkan, dan kami tidak meminta apapun darinya! Tidak ada yang lebih utama dari memberi maaf di kala mampu. Ini kami lakukan agar orang tidak mengatakan tidak ada lagi orang yang berjiwa besar yang mau memaafkan saudaranya di kalangan umat Muhammad SAW.”

Cerita disadur dari:
El Shirazy, Habiburrahman
KETIKA CINTA BERBUAH SURGA / Habiburrahman El Shirazy — Bandung: MQS Publishing 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar